Rabu, 12 Maret 2014

SEJARAH KABUPATEN INDRAMAYU & INDRAMAYU TEMPO DULU

Sejarah Indramayu
SELAYANG PANDANG
1. SEJARAH INDRAMAYU
1.1 Pendahuluan
Menurut Tim Panitia Peneliti Sejarah Kabupaten Indramayu bahwa hari jadi Indramayu jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527 M yang telah disahka pada sidang Pleno DPRD Kabupaten Daerah tingkat II Indramayu pada tanggal 24 Juni 1977 dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah tingkat II Indramayu Nomor 02 Tahun 1977 tentang Penetapan Hari Jadi Indramayu, dimana dalam Peraturan Daerah tersebut disebutkan bahwa hari jadi Indramayu ditetapkan jatuh pada tanggal 7 (tujuh) Oktober 1527 M hari Jumat Kliwon tanggal 1 Muharam 934 H.Dalam menentukan hari jadi tersebut tim panitia peneliti sejarah Indramayu berpegang pada sebuah patokan peninggalan jaman dulu dan atas dasar beberapa fakta sejarah yang ada, yaitu prasasti, penulisan-penulisan masa lalu, benda-benda purbakala/benda pusaka, legenda rakyat serta tradisi yang hidup ditengah-tengah masyarakat.

1.2 Proses Sejarah Indramayu
Menurut Babad Dermayu penghuni partama daerah Indramayu adalah Raden Aria Wiralodra yang berasal dari Bagelen Jawa Tengah putra Tumenggung Gagak Singalodra yang gemar melatih diri olah kanuragan, tirakat dan bertapa.
Suatu saat Raden Wiralodra tapa brata dan semedi di perbukitan melaya di kaki gunung sumbing, setelah melampau masa tiga tahun ia mendapat wangsit “Hai wiralodra apabila engkau ingin berbahagia berketurunan di kemudian hari carilah lembah Sungai Cimanuk. Manakala telah tiba disana berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya untuk mendirikan pedukuhan dan menetaplah disana, kelak tempat itu akan menjadi subur makmur serta tujuh turunanmu akan memerintan disana”.
Dengan didampingi Ki Tinggil dan berbekal senjata Cakra Undaksana berangkatlah mereka ke arah barat untuk mencari sungai Cimanuk. Suatu senja sampailah mereka di sebuah sungai, Wiralodra mengira sungai itu adalah Cimanuk maka bermalamlah disitu dan ketika pagi hari bangun mereka melihat ada orang tua yang menegur dan menanyakan tujuan mereka. Wiralodra menjelaskan apa maksud dan tujuan perjalanan mereka, namun orang tua itu berkata bahwa sungai tersebut bukan cimanuk karna cimanuk telah terlewat dan mereka harus balik lagi ke arah timur laut. Setelah barkata demikian orang tarsebut lenyap dan orang tua itu menurut riwayat adalah Ki Buyut Sidum, Kidang Penanjung dari Pajajaran. Ki Sidum adalah seorang panakawan tumenggung Sri Baduga yang hidup antara tahun 1474 - 1513.
Kemudian Raden Wiralodra dan Ki Tinggil melanjutkan perjalanan menuju timur laut dan setelah berhari-hari berjalan mereka melihat sungai besar, Wiralodra berharap sungai tersebut adalah Cimanuk , tiba-tiba dia melihat kebun yang indah namun pemilik kebun tersebut sangat congkak hingga Wiralodra tak kuasa mengendalikan emosinya ketika ia hendak membanting pemilik kebun itu, orang itu lenyap hanya ada suara “Hai cucuku Wiralodra ketahuilah bahwa hamba adalah Ki Sidum dan sungai ini adalah sungai Cipunegara, sekarang teruskanlah perjalanan kearah timur, manakala menjumpai seekor Kijang bermata berlian ikutilah dimana Kijang itu lenyap maka itulah sungai Cimanuk yang tuan cari.”.
Saat mereka melanjutkan perjalanan bertemulah dengan seorang wanita bernama Dewi Larawana yang memaksa untuk di persunting Wiralodra namun Wiralodra menolaknya hingga membuat gadis itu marah dan menyerangnya. Wiralodra mengelurkan Cakranya kearah Larawana, gadis itupun lenyap barsamaan dengan munculnya seekor Kijang. Wiralodra segera mengejar Kijang itu yang lari kearah timur, ketika Kijang itu lenyap tampaklah sebuah sungai besar. Karena kelelahan Wiralidra tertidur dan bermimpi bertemu Ki Sidum , dalam mimpinya itu Ki Sidum berkata bahwa inilah hutan Cimanuk yang kelak akan menjadi tempat bermukim.
Setelah ada kepastian lewat mimpinya Wiralodra dan Ki Tinggil membuat gubug dan membuka ladang, mereka menetap di sebelah barat ujung sungai Cimanuk. Pedukuhan Cimanuk makin hari makin banyak penghuninya. diantaranya seorang wanita cantik paripurna bernama Nyi Endang Darma. Karena kemahiran Nyi Endang dalam ilmu kanuragan telah mengundang Pangeran Guru dari Palembang yang datang ke lembah Cimanuk bersama 24 muridnya untuk menantang Nyi Endang Darma namun semua tewas dan dikuburkan di suatu tempat yang sekarang terkenal dengan “Makam Selawe”.
Untuk menyaksikan langsung kehebatan Nyi Endang Darma, Raden Wiralodra mengajak adu kesaktian dengan Nyi Endang Darma namun Nyi Endang Darma kewalahan menghadapi serangan Wiralodra maka dia meloncat terjun ke dalam Sungai Cimanuk dan mengakui kekalahannya. Wiralodra mengajak pulang Nyi Endang Darma untuk bersama-sama melanjutkan pembangunan pedukuhan namun Nyi Endang Darma tidak mau dan hanya berpesan, “Jika kelak tuan hendak memberi nama pedukuhan ini maka namakanlah dengan nama hamba, kiranya permohonan hamba ini tidak berlebihan karena hamba ikut andil dalam usaha membangun daerah ini”.
Untuk mengenang jasa orang yang telah ikut membangun pedukuhannya maka pedukuhan itu dinamakan “DARMA AYU” yang di kemudian hari menjadi “INDRAMAYU”.
Berdirinya pedukuhan Darma Ayu memang tidak jelas tanggal dan tahunnya namun berdasarkan fakta sejarah Tim Peneliti menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada jum’at kliwon, 1 sura 1449 atau 1 Muharam 934 H yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1527 M.
1.3 Catatan proses Indramayu lainnya
Cerita pedukuhan Darma Ayu adalah salah satu catatan sejarah daerah Indramayu namun ada beberapa catatan lainnya yang juga berkaitan dengan proses pertumbuhan daerah Indramayu antara lain:
a. Berita yang bersumber pada Babad Cirebon bahwa seorang saudagar China beragama islam bernama Ki Dampu Awang datang ke Cirebon pada tahun 1415. Ki Dampu Awang sampai di desa Junti dan hendak melamar Nyi Gedeng Junti namun ditolak oleh Ki Gedeng Junti, disini dapat disimpulkan bahwa Desa Junti sudah ada sejak tahun 1415 M .
b. Catatan dalam buku Purwaka Caruban Nagari mengenai adanya Desa Babadan,dimana pada tahun 1417 M Sunan Gunung Jati pernah datang ke Desa Babadan untuk mengislamkan Ki Gede Babadan bahkan menikah dengan puteri Ki Gede Babadan .
c. Di tengah kota Indramayu ada sebuah desa yang bernama Lemah Abang, nama itu ada kaitannya dengan nama salah seorang Wali Songo Syeikh Siti Jenar yang dikenal dengan nama Syeikh Lemah Abang, mungkin dimasa hidupnya (1450 - 1406) Syeikh Lemah Abang pernah tinggal di desa tersebut atau setidak-tidaknya dikunjungi olehnya untuk mengajarkan agama islam.
Setelah bangsa Portugis pada tahun 1511 menguasai Malaka antara 1513-1515 pemerintah Portugis mengirimkan Tom Pires ke Jawa . Dalam catatan harian Tom Pires terdapat data- data bahwa :
> Tahun 1513-1515 pedukuhan Cimanuk sudah ada bahkan sudah mempunyai pelabuhan
> Pedukuhan Cimanuk ada dalam wilayah kerajaan sunda (Pajajaran) .
Melihat bukti-bukti atau sumber di atas diperkirakan pada akhir abad XVI M daerah Indramayu sekarang atau sebagian dari padanya sudah dihuni manusia.
*Sumber: Buku Sejarah Indramayu (cetakan ke 2) terbitan pemerintah Kabupaten DT II Indramayu

2. PRASASTI ARIA WIRALODRA

Nanging Benjing Allah Nyukani
Kerahmatan Kang Linuwih
Darma Ayu Mulih Harja
Tan Ana Sawiji - wiji
Pertelane
Yen Wonten Taksana Nyabrang Kali Cimanuk
Sumur Kejayaan Deres Mili
Dlupak Murub Tanpa Patra
Sadaya Pan Mukti Malih
Somahan Lawan Prajurit
Rowang Lawan Priagung
Samya Tentram Atine
Sadaya Harta Tumuli
Ing Sekehing Negara Pada Raharja

Artinya :
Akan tetapi Allah melimpahkan
RAhmatNya yang berlimpah
Darma Ayu kembali makmur tiada ada suatu hambatan
Tanda
Jika ada ular menyebrangi sungai cimanuk
Sumur kejayaan mengalir deras
Lampu menyala tanpa minyak
Semua hidup makmur
Bekerja sama dengan tentara
Membantu penguasa
Semua hidup aman dan tentram
Gemah ripah loh jinawi
Seluruh negara hidup makmur

3. PETA KABUPATEN INDRAMAYU






4. BUPATI INDRAMAYU DARI MASA KE MASA
1. Raden Singalodra ------> (WIRALODRA I)
2. Raden Wirapati ------> (WIRALODRA II)
3. Raden Sawedi ------> (WIRALODRA III)
4. Raden Banggala ------> (WIRALODRA IV)
5. Raden Banggali ------> (WIRALODRA V)
6. Raden Samaun ------> (WIRALODRA VI)
7. Raden Krestal
8. Raden Warngali
9. Raden Wiradibrata I
10. Raden T. Suraneggala
11. Raden Dilari (Purbadi Negara I)   ------>  1900
12. Raden Rolat (Purbadi Negara II) ------> 1900 - 1917
13. Raden Sosrowardjoyo ------> 1917 - 1932
14. Raden AA. Moch. Soediono ------> 1933 - 1944
15. Dr. Raden Murdjani ------> 1944 - 1946
16. Raden Wiraatmaja ------> 1946 - 1947
17. M. I. Syafiuddin ------> 1947 - 1948
18. Raden Wachyu ------> 1949 - 1950
19. Tikol Al moch. Ichlas ------> 1950 - 1951
20. Tb. Moch. Cholil ------> 1951
21. Raden Djoko Said Prawirawidjoyo ------> 1952 - 1956
22. Raden Hasan Surya satjakusumah ------> 1956 - 1958
23. Raden Firman Ranuwidjoyo ------> 1958 - PJ
24. Entol Djunaedi Satiawiharja ------> 1958 - 1960
25. H. A. Dasuki ------> 1960 - 1965
26. M. Dirlam Sastro Mihardjo ------> 1965 - 1973
27. Raden Hadian Suria Adiningrat  ------> 1974 - 1975
28. H. A. Djahari, SH ------> 1975 - 1985
29. H. Adang Suryana ------> 1985 - 1990
30. H. Ope Mustofa ------> 1990 - 2000
31. H. Irianto MS Syafiuddin ------> 2000 - 2010
32. Hj. Anna Sopanah ------> 2010 - 2015




Masjid Agung Indramayu Simbol Kejayaan Islam di Pantura TRANSPORTASI dan perdagangan di Kabupaten Indramayu pada zaman dulu, terutama di era kolonial Hindia-Belanda pada tahun 1900-an, tertumpu di sepanjang aliran Sungai Cimanuk. Melalui jalur itulah, tata niaga lokal terkonsentrasi, dan menjadi pusat perekonomian terpenting di kawasan pantura kala itu. Perdagangan beras dan komoditi pokok masyarakat lainnya, seperti jagung, palawija, rempah-rempah, dan lain-lain, setiap harinya dilakukan oleh masyarakat pribumi maupun pendatang dalam suasana kekeluargaan. Tingginya intensitas perdagangan pada saat itu membuat sebagian besar warga pribumi yang beragama Islam, berinisiatif membangun sebuah langgar atau musala dengan ukuran kecil mungil. Saat itu tahun 1937, langgar terletak di tepi Sungai Cimanuk. Tujuan dibangunnya langgar tersebut untuk memberikan sarana beribadah bagi penganut agama Islam di kawasan tersebut. Keberadaan langgar yang saat itu belum bernama, cukup membantu ibadah masyarakat Indramayu, serta sejumlah pedagang asal Cina atau Tiongkok yang kerap menjalankan aktivitas niaga di sana. Seiring perkembangan waktu, langgar kecil tersebut mulai dipugar, dan dibangun secara gotong royong oleh masyarakat setempat. Pemugaran langgar tersebut tidak terlepas dari peran sentral seorang mualaf asal Tiongkok bernama Tjoe Teng. Tanah seluas 1 hektare milik Tjoe Teng yang terhampar di sisi langgar tersebut, dihibahkan secara sukarela untuk kepentingan pembangunan langgar. Bahkan Tjoe Teng yang saat itu sangat terkenal sebagai juragan atau saudagar kaya dengan berbagai jenis usaha baik beras maupun komoditi lainnya, ikut menyumbangkan sebagian rezekinya untuk pemugaran hingga pembangunan langgar. Tjoe Teng pun menurut sejumlah saksi sejarah saat itu, memiliki komitmen yang cukup besar untuk membangun tempat ibadah yang representatif, meski ia merupakan mualaf atau pemeluk baru agama Islam. Sikap dermawan sang mualaf asal Tiongkok ini membuat warga pribumi sangat menghormatinya, dan menganggap Tjoe Teng sebagai penduduk pribumi, bukan seorang pendatang dari negeri Tiongkok. Bahkan oleh warga setempat, Tjoe Teng sering disebut-sebut sebagai tokoh dermawan "Riwayat pembangunan Masjid Agung Indramayu tidak terlepas dari peran Tjoe Teng yang menghibahkan tanah miliknya, dan membangun langgar menjadi masjid," ungkap pengurus DKM Masjid Agung Indramayu, Saprudin. Selain mendapatkan bantuan dari Tjoe Teng, sang saudagar kaya, masyarakat sekitar pun ikut membantu baik dengan tenaga maupun materi. Pokoknya, saat itu kepedulian masyarakat setempat sangat tinggi untuk membangun sarana ibadah tersebut. Singkat cerita, setelah dibangun secara gotong royong, Masjid Agung Indramayu pun berdiri cukup besar di zamannya. Bahkan, Masjid Agung Indramayu menjadi pusat ibadah kaum muslimin dan muslimat Indramayu dalam menjalankan ibadah. "Bahkan, setiap tahunnya, Masjid Agung menjadi tempat salat ied bagi sebagian masyarakat Indramayu," katanya. Budayawan Indramayu, Fuzail Ayad Syahbana, menjelaskan, berdasarkan sejumlah saksi sejarah Masjid Agung berupa foto-foto tempo dulu yang diperolehnya dari kantor arsip Hindia Belanda, Masjid Agung memiliki satu ciri khas pada konstruksi bangunannya yang mirip Masjid Demak. Fuzail Ayad menambahkan, penyebaran Islam di Jawa tidak terlepas dari peran Wali Songo. "Kecenderungan tersebut sangat kuat dari arsitektur bangunan Masjid Agung Indramayu yang menyerupai Masjid Demak hingga saat ini,"


0 komentar:

Posting Komentar